Minggu, 11 Desember 2011

Berlebihan dalam mencintai uang...


Siapapun akan mengatakan,  bahwa uang adalah penting . Sebab untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, siapapun selalu membutuhkannya. Tanpa uang  yang cukup hidup ini  akan dirasa sulit. Kebutuhan hidup sehari-hari seperti untuk makan, pakaian, tempat tinggal, biaya kesehatan, sekolah anak-anak dan juga biaya hari tua selalu memerlukan uang.

Masing-masing orang berbeda-beda kemampuannya, sehingga  lahir kategori-kategori. Misalnya,  ada orang yang disebut kaya, sedang dan miskin. Disebut sebagai orang kaya, manakala yang bersangkutan berhasil memenuhi kebutuhan hidupnya dan bahkan lebih. Sebaliknya, seseorang disebut miskin manakala mereka tidak  mampu  memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Memposisikan orang sebagai kaya, sedang,  dan miskin ternyata  juga tidak mudah. Setiap orang, kelompok,  atau bahkan negara memiliki ukuran yang berbeda-beda. Bahkan ukuran  itu bisa diubah-ubah, misalnya agar jumlah orang miskin berkurang, maka criteria yang telah ditetapkan diubah. Mengkayakan orang  memang tidak gampang, maka agar jumlah orang yang disebut miskin berkurang, maka ukuran itu direvisi, hingga jumlah orang kaya naik dan sebaliknya jumlah orang miskin berkurang.     

Secara mendadak misalnya,  diumumkan bahwa, jumlah orang miskin berkurang, sehingga  sementara orang  gembira, tetapi ada  juga yang  terkejut,  dan terheran-heran. Kemiskinan bisa-bisanya dikurangi  sedemikian cepat. Ternyata jumlah orang kaya itu bertambah  sebagai akibat kriterianya diubah. Padahal sebenarnya,   yang miskin  tetap miskin. Mereka yang menjadi sopir angkot  masih saja berpenghasilan rendah, demikian pula para buruh, tukang batu, petani dan lain-lain. Artinya  mereka masih tetap miskin.

Orang miskin menjadi kaya sangat sulit  terjadi.   Biasanya justru yang mudah adalah sebaliknya, orang kaya jatuh miskin. Orang kaya yang kalah judi, terkena bencana alam, ketangkap basah oleh KPK lalu dipenjara dan didenda, maka segera menjadi miskin. Tidak  itu saja, orang yang diputus hubungan kerja hingga menjadi pengangguran cepat miskin. Bahkan,  orang kaya yang mencalonkan diri menjadi bupati, wlikota atau gubernur lalu gagal, maka  bisa  jatuh menjadi miskin dan hutangnya menumpuk.  

Orang mencintai harta boleh-boleh saja, asalkan tidak keterlaluan,  dan harta itu diperoleh dengan cara yang benar. Sebab orang  yang keterlaluan dalam mencintai uang biasanya melupakan yang lain.  Dengan terlalu mencintai uang, maka  mereka melakukan apa saja, termasuk yang dilarang. Orang yang terlalu mencintai harta, maka akan lupa harga dirinya, keluarganya dan kehidupan sosialnya.

Mencintai  sesuatu   akan melahirkan kesediaan berkorban. Kecitaan pada Allah dan Rasul akan  menguntungkan pada dirinya. Seseorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya akan melakukan kebaikan atau hal yang mulia. Namun sebaliknya, mencintai selainnya, dan apalagi  terlalu mencintai uang,  akan justru melahirkan keburukan.  Orang yang terlalu mencintai uang atau harta  akan  mengorbankan harkat dan martabat dirinya sendiri. Jika diamati secara jeli, sebenarnya  para koruptor  adalah orang-orang yang terlalu mencintai harta  secara berlebih. 

Para koruptor mengira bahwa dengan harta yang didapatkan itu akan berhasil mengangkat harkat dan martabat harga dirinya. Mereka ingin dianggap sebagai orang kaya. Dengan kekayaan itu maka derajad dirinya di tengah-tengah masyarakat menjadi naik,  dihormati orang dan hidupnya akan bahagia. Ternyata yang diperoleh justru sebaliknya, mereka menjadi urusan polisi, KPK, dan atau kejaksaan. Akhirnya justru menjadi hinaan masyarakat.

Ada sebuah hadits nabi mengatakan bahwa,  di suatu zaman akan muncul  suatu penyakit masyarakat yang  sulit sesembuhkan, yaitu  disebut dengan  istilah wahn. Ternyata wahn itu adalah terlalu mencintai harta dan takut mati.    Orang yang terlalu mencintai uang atau harta, maka sesungguhnya yang bersangkutan adalah sedang berpenyakit. Demikian pula orang yang takut mati. Mati adalah keniscayaan dan justru tidak lazim manakala  seseorang yang umurnya sudah di atas batas tetapi  tidak mati-mati.

Rasanya sekarang ini sudah banyak orang yang terlalu mencintai harta atau uang. Apa saja gerak  yang dilakukan oleh mereka selalu dikaitkan dengan usaha mendapatkan uang.  Menjadi guru, dosen, politikus, pejabat, dokter, hakim, jaksa, polisi, dan bahkan hingga mereka yang aktif dalam kehidupan keagamaan, seperti berkhutbah, ceramah, seminar, memberi pelajaran agama,   juga dikaitkan dengan uang. Tatkala tidak mendapatkan imbalan  uang atau  amplop tebal, maka khutbahnya dibatalkan. Itu semua adalah tanda-tanda bahwa yang bersangkutan telah berpenyakit yang perlu disembuhkan.

Tidak selalu  bahwa orang kaya terlalu mencintai uang.  Bisa saja  penyakit terlalu mencintai uang justru terjadi pada orang-orang miskin. Orang kaya yang selalu menunaikan zakat, infaq, shadaqah, peduli pada orang miskin dan anak yatim, maka tidak disebut sebagai orang yang terlalu mencintai uang atau harta. Sebaliknya, orang miskin yang  mencuri, mencopet, merampok atau sejenisnya, maka sebenarnya yang bersangkutan terlalu mencitai harta,   melebihi terhadap dirinya sendiri.

Islam menganjurkan ummatnya agar mencintai Allah dan rasul-Nya melebihi cintanya terhadap lainnya. Mencintai Allah sama halnya dengan mencintai kebaikan, kejujuran, keadilan dan kemanusiaan. Terlalu mencitai uang  atau  harta kekayaan, maka  akan mengorbankan harga dirinya sendiri.  Siapapun boleh-boleh saja  menjadi kaya, tetapi tidak boleh terlalu mencintai uang atau kekayaannya itu, hingga lupa terhadap kewajiban membayar zakat, infaq, sahadaqoh, memperhatikan orang miskin dan anak yatim, hingga disebut sebagai orang   kikir.

Dalam kehidupan bangsa akhir-akhir ini banyak terjadi konflik, saling menghujat, berebut, saling menjatuhkan, membidik dan menistakan. Kehidupan seperti itu rasanya sangat tidak cocok dengan kepribadian bangsa yang luhur,  yang selalu memuliakan dan menghormati antar sesama . Keadaan itu jika dikaji secara saksama, sebenarnya  berakar dari persoalan terlalu mencintai uang atau harta. Harta dianggap sebagai segala-galanya, bahkan ukuran keberhasilan hidup seseorang hanya dilihat dari banyaknya harta yang telah dikumpulkan.

Sayangnya, pemerintah sendiri juga melakukan yang demikian. Mencintai harta didorong di mana-mana pada setiap waktu. Maka akibatnya,  seperti yang disebutkan di muka , terjadi suasana berebut, konflik, membidik dan saling menjatuhkan. Oleh karena itu, kiranya sudah waktunya pemerintah dan para pemimpin bangsa ini melakukan perenungan mendalam dan  selanjutnya melakukan perubahan orientasi secara mendasar, sehingga  orang tidak lagi terlalu mencintai uang atau harta, melebihi kecintaan mereka terhadap  kebenaran, kejujuran, keadilan, dan kemanusiaan.   Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar