Siapapun akan mengatakan, bahwa uang adalah penting . Sebab untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, siapapun selalu membutuhkannya. Tanpa uang yang cukup hidup ini akan dirasa sulit. Kebutuhan hidup sehari-hari seperti untuk makan, pakaian, tempat tinggal, biaya kesehatan, sekolah anak-anak dan juga biaya hari tua selalu memerlukan uang.
Masing-masing orang berbeda-beda kemampuannya, sehingga lahir kategori-kategori. Misalnya, ada orang yang disebut kaya, sedang dan miskin. Disebut sebagai orang kaya, manakala yang bersangkutan berhasil memenuhi kebutuhan hidupnya dan bahkan lebih. Sebaliknya, seseorang disebut miskin manakala mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Memposisikan orang sebagai kaya, sedang, dan miskin ternyata juga tidak mudah. Setiap orang, kelompok, atau bahkan negara memiliki ukuran yang berbeda-beda. Bahkan ukuran itu bisa diubah-ubah, misalnya agar jumlah orang miskin berkurang, maka criteria yang telah ditetapkan diubah. Mengkayakan orang memang tidak gampang, maka agar jumlah orang yang disebut miskin berkurang, maka ukuran itu direvisi, hingga jumlah orang kaya naik dan sebaliknya jumlah orang miskin berkurang.
Secara mendadak misalnya, diumumkan bahwa, jumlah orang miskin berkurang, sehingga sementara orang gembira, tetapi ada juga yang terkejut, dan terheran-heran. Kemiskinan bisa-bisanya dikurangi sedemikian cepat. Ternyata jumlah orang kaya itu bertambah sebagai akibat kriterianya diubah. Padahal sebenarnya, yang miskin tetap miskin. Mereka yang menjadi sopir angkot masih saja berpenghasilan rendah, demikian pula para buruh, tukang batu, petani dan lain-lain. Artinya mereka masih tetap miskin.
Orang miskin menjadi kaya sangat sulit terjadi. Biasanya justru yang mudah adalah sebaliknya, orang kaya jatuh miskin. Orang kaya yang kalah judi, terkena bencana alam, ketangkap basah oleh KPK lalu dipenjara dan didenda, maka segera menjadi miskin. Tidak itu saja, orang yang diputus hubungan kerja hingga menjadi pengangguran cepat miskin. Bahkan, orang kaya yang mencalonkan diri menjadi bupati, wlikota atau gubernur lalu gagal, maka bisa jatuh menjadi miskin dan hutangnya menumpuk.
Orang mencintai harta boleh-boleh saja, asalkan tidak keterlaluan, dan harta itu diperoleh dengan cara yang benar. Sebab orang yang keterlaluan dalam mencintai uang biasanya melupakan yang lain. Dengan terlalu mencintai uang, maka mereka melakukan apa saja, termasuk yang dilarang. Orang yang terlalu mencintai harta, maka akan lupa harga dirinya, keluarganya dan kehidupan sosialnya.
Mencintai sesuatu akan melahirkan kesediaan berkorban. Kecitaan pada Allah dan Rasul akan menguntungkan pada dirinya. Seseorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya akan melakukan kebaikan atau hal yang mulia. Namun sebaliknya, mencintai selainnya, dan apalagi terlalu mencintai uang, akan justru melahirkan keburukan. Orang yang terlalu mencintai uang atau harta akan mengorbankan harkat dan martabat dirinya sendiri. Jika diamati secara jeli, sebenarnya para koruptor adalah orang-orang yang terlalu mencintai harta secara berlebih.
Para koruptor mengira bahwa dengan harta yang didapatkan itu akan berhasil mengangkat harkat dan martabat harga dirinya. Mereka ingin dianggap sebagai orang kaya. Dengan kekayaan itu maka derajad dirinya di tengah-tengah masyarakat menjadi naik, dihormati orang dan hidupnya akan bahagia. Ternyata yang diperoleh justru sebaliknya, mereka menjadi urusan polisi, KPK, dan atau kejaksaan. Akhirnya justru menjadi hinaan masyarakat.
Ada sebuah hadits nabi mengatakan bahwa, di suatu zaman akan muncul suatu penyakit masyarakat yang sulit sesembuhkan, yaitu disebut dengan istilah wahn. Ternyata wahn itu adalah terlalu mencintai harta dan takut mati. Orang yang terlalu mencintai uang atau harta, maka sesungguhnya yang bersangkutan adalah sedang berpenyakit. Demikian pula orang yang takut mati. Mati adalah keniscayaan dan justru tidak lazim manakala seseorang yang umurnya sudah di atas batas tetapi tidak mati-mati.
Rasanya sekarang ini sudah banyak orang yang terlalu mencintai harta atau uang. Apa saja gerak yang dilakukan oleh mereka selalu dikaitkan dengan usaha mendapatkan uang. Menjadi guru, dosen, politikus, pejabat, dokter, hakim, jaksa, polisi, dan bahkan hingga mereka yang aktif dalam kehidupan keagamaan, seperti berkhutbah, ceramah, seminar, memberi pelajaran agama, juga dikaitkan dengan uang. Tatkala tidak mendapatkan imbalan uang atau amplop tebal, maka khutbahnya dibatalkan. Itu semua adalah tanda-tanda bahwa yang bersangkutan telah berpenyakit yang perlu disembuhkan.
Tidak selalu bahwa orang kaya terlalu mencintai uang. Bisa saja penyakit terlalu mencintai uang justru terjadi pada orang-orang miskin. Orang kaya yang selalu menunaikan zakat, infaq, shadaqah, peduli pada orang miskin dan anak yatim, maka tidak disebut sebagai orang yang terlalu mencintai uang atau harta. Sebaliknya, orang miskin yang mencuri, mencopet, merampok atau sejenisnya, maka sebenarnya yang bersangkutan terlalu mencitai harta, melebihi terhadap dirinya sendiri.
Islam menganjurkan ummatnya agar mencintai Allah dan rasul-Nya melebihi cintanya terhadap lainnya. Mencintai Allah sama halnya dengan mencintai kebaikan, kejujuran, keadilan dan kemanusiaan. Terlalu mencitai uang atau harta kekayaan, maka akan mengorbankan harga dirinya sendiri. Siapapun boleh-boleh saja menjadi kaya, tetapi tidak boleh terlalu mencintai uang atau kekayaannya itu, hingga lupa terhadap kewajiban membayar zakat, infaq, sahadaqoh, memperhatikan orang miskin dan anak yatim, hingga disebut sebagai orang kikir.
Dalam kehidupan bangsa akhir-akhir ini banyak terjadi konflik, saling menghujat, berebut, saling menjatuhkan, membidik dan menistakan. Kehidupan seperti itu rasanya sangat tidak cocok dengan kepribadian bangsa yang luhur, yang selalu memuliakan dan menghormati antar sesama . Keadaan itu jika dikaji secara saksama, sebenarnya berakar dari persoalan terlalu mencintai uang atau harta. Harta dianggap sebagai segala-galanya, bahkan ukuran keberhasilan hidup seseorang hanya dilihat dari banyaknya harta yang telah dikumpulkan.
Sayangnya, pemerintah sendiri juga melakukan yang demikian. Mencintai harta didorong di mana-mana pada setiap waktu. Maka akibatnya, seperti yang disebutkan di muka , terjadi suasana berebut, konflik, membidik dan saling menjatuhkan. Oleh karena itu, kiranya sudah waktunya pemerintah dan para pemimpin bangsa ini melakukan perenungan mendalam dan selanjutnya melakukan perubahan orientasi secara mendasar, sehingga orang tidak lagi terlalu mencintai uang atau harta, melebihi kecintaan mereka terhadap kebenaran, kejujuran, keadilan, dan kemanusiaan. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar